Beranda | Artikel
Suami Melalaikan Tugas, Hidup Bergantung Pada Istri
Jumat, 26 Agustus 2005

SUAMI MELALAIKAN TUGAS, HIDUP BERGANTUNG PADA ISTRI

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Saya mau minta tolong kepada Redaksi As-Sunnah untuk membahas kewajiban orang tua dalam masalah mencari nafkah untuk keluarganya. Karena bapak saya pemalas dan sering menghabiskan waktu cuma untuk ngobrol-ngobrol saja. Bila diingatkan justru marah-marah. Bicaranya terhadap keluarga selalu kasar, akan tetapi, berubah menjadi sangat lembut jika berhadapan dengan orang lain. Perlu diketaui, bapak termasuk sebagai ustadz dan selalu membaca Majalah As-Sunnah. Kamilah anak-anaknya. Ibu yang mencari nafkah. Apakah dalam Islam seperti itu?

Jawaban:
Kami ikut prihatin, karena perilaku seperti itu memang tidak selaras dengan ajaran Islam yang hanif, yang menjunjung tinggi keadilan. Apalagi dalam persoalan memberi nafkah kepada keluarga. Masalah ini sudah sangat jelas menjadi tanggung jawab kaum lelaki, dalam hal ini suami atau ayah. Bukan saja hanya dalam tinjauan Islam, akan tetapi, secara akal sehat dan norma yang berkembang di masyarakat pun mendudukkan suami atau ayah sebagai kepala keluarga. Dialah yang paling bertanggung jawab atas nafkah keluarga.

Ulama fikih sepakat, memberikan nafkah untuk istri adalah wajib dilihat dari sisi hukum. Begitulah yang terjadi dengan adanya akad nikah, telah menetapkan hak-hak istri yang harus dipenuhi oleh suami.

Oleh sebab itu, nafkah merupakan kewajiban bagi suami untuk memenuhinya, meskipun istrinya merupakan orang kaya, baik muslimah atau bukan. Sebab perkara yang mewajibkannya adalah perkawinan yang sah, dan hal ini merupakan perkara yang sudah jelas.

Landasan kewajiban ini adalah nash Al-Qur`an, as-Sunnah, Ijma’, dan dalil akal. Banyak pula ayat Al-Qur`an yang telah menetapkan, bahwa kewajiban memberi nafkah keluarga itu berada di atas pundak seorang suami atau ayah, dan bukan orang lain. Diantaranya:

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. [an-Nisâ`/4:34].

Pada ayat ini, Allah telah menetapkan kepemimpinan kaum laki-laki atas kaum wanita. Setelah itu, Allah membebaninya dengan beberapa perkara, di antaranya adalah tanggung jawab laki-laki untuk memberi nafkah istri dan bersedia memberikan hartanya untuk tujuan itu. Maka ayat yang mulia ini menunjukkan tuntutan kepada suami untuk memberi nafkah kepada sang istri.

Sedangkan salah satu dalil dari as-Sunnah, yang menunjukkan kewajiban suami untuk memberi nafkah istri sangat jelas, dan jumlahnya banyak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah di depan para sahabat dengan bersabda:

فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ … وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Bertakwalah kalian kepada Allah terhadap istri-istri kalian. Sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan perlindungan dari Allah . . . Dan hak mereka (yang menjadi kewajiban) atas kalian adalah (memberi) makan dan pakaian dengan cara yang baik“. [HR Muslim, no. 1218].

Dalam hadits ini, terdapat anjuran untuk memperhatikan hak para wanita serta wasiat untuk berinteraksi dengan cara-cara yang baik. Lafazh “lahunna” memberikan pengertian, bahwa hak nafkah sudah menjadi ketetapan yang harus dipenuhi, sehingga menjadi wajib atas seorang suami menjalankan hak-hak istri, di antaranya yaitu memberi nafkah. Pengkhususan penyebutan makanan dan pakaian, karena dua hal ini merupakan kebutuhan yang sangat penting.

Begitu jelasnya dua dalil di atas menunjukkan, bahwa suamilah yang bertanggung jawab mencari nafkah, bukan istri!

Ibnul-Qayyim rahimahullah sudah menyatakan bahwa berdasarkan Ijma’ ulama, maka suamilah yang memberi nafkah anak-anak, tanpa dibarengi oleh istri [1].

Secara akal sehat juga, suamilah yang bertanggung jawab atas “dapur” rumah tangganya. Sebab, dalam pengaturan urusan di dalam rumahnya, banyak beban yang telah dijalankan oleh kaum wanita (istri), seperti menjalankan pekerjaan rumah, mengasuh anak, da lainnya, maka sudah sewajarnya dan sebagai keharusan bagianya menerima nafkah. Kesibukannya di rumah seharusnya mendapatkan balasan secara timbal-balik dari suami.

Syari’at Islam menghendaki dengan hikmah dari Allah Azza wa Jalla, agar kehidupan rumah tangga terdiri dari dua kombinasi utama, yaitu laki-laki dan perempuan.

Allah menghendaki untuk mengistimewakan kaum laki-laki dengan beberapa keistimewaan, karakter, fitrah dan gejolak perasaan yang berbeda dengan yang dimiliki wanita, di samping hal-hal lain dan tabiat yang sama-sama dimiliki oleh kedua belah pihak.

Di antara perkara yang sudah tidak diragukan lagi, antara suami dengan istri, masing-masing memiliki peran signifikan dalam menjaga keamanan rumah tangga, pembentukan dan ketentramannya. Keberadaan rumah tangga, tidak lain kecuali sebagai tempat berteduh, menjadi tempat setiap pasangan untuk mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan kodrat, kondisi khususnya dan bentuk fisik yang sudah diciptakan oleh Allah.

Ibu merupakan sumber kasih sayang dan perawatan bagi anak-anaknya, tempat berlabuh dan ketentraman bagi suaminya. Dia menjadi tempat ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan bagi keluarga. Dia adalah penanggung jawab rumah dan ratu keluarga, menyusui si kecil dan memberikan rasa sayang, menyelesaikan kebutuhan anak-anaknya. Dia juga menjadi suri tauladan bagi anak-anaknya, dan menjadi pelita yang menerangi jalan dalam meniti hidup.

Dengan tugas-tugas kodratinya yang menjadi kewajibannya, sehingga istri yang bekerja akan menyebabkan dirinya kurang memiliki perhatian kepada anak dan rumahnya. Selain itu, dapat memicu perihal buruk. Oleh karena itu, kaum lelaki yang dilebihkan secara fisik, ia semestinya memiliki tanggung jawab untuk menghidupi keluarga.

Kehidupan keluarga itu sendiri terbagi menjadi pekerjaan yang bersifat eksternal dan internal. Laki-laki dibebani dengan pekerjaan di luar rumah, sedangkan perempuan dituntut mengerjakan tugas-tugas di dalam rumahnya.

Dengan penjelasan ini, maka menjadi jelas bahwa memperhatikan tugas-tugas sesuai bagiannya, akan menjaga kehormatan sebuah keluarga. Jangan sampai kehormatan dan nama baik keluarga terkoyak, lantaran nakhkoda bahtera rumah tangga lalai menjalankan tugasnya.

Adapun sikap lemah-lembut, maka Rasulullah sudah mencontohkannya di dalam rumah tangga beliau yang mulia. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku“. [HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam ash-Shahîhah, no. 285].

Hadits di atas dapat menjadi barometer untuk mengetahui pribadi asli seseorang. Hendaklah manusia itu bersikap mulia dan berlaku jujur, khususnya suami (atau ayah). Karena ia memegang kendali rumah tangga. Sehingga seorang suami, semestinya melakukan mu’amalah dengan cara yang baiknya terhadap keluarganya. Merekalah orang yang paling dekat dengannya. Bukankah ia sendiri tidak mau disikapi secara keras dan ketus oleh anggota keluarga lainnya?

Marilah kita mengutamakan keluarga dalam masalah seperti ini. Bersikap kurang adil terhadap keluarga hanya akan menciptakan dosa bagi para suami atau ayah. Semoga Allah memperbaiki kondisi keluarga kaum Muslimin pada umumnya.

Wabillahit-taufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
Lihat Zâdul Ma’ad (5/448).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1551-suami-melalaikan-tugas-hidup-bergantung-pada-istri.html